
Chaosnya Massa Usai Pertandingan Sepak Bola Israel vs Italia. Pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Israel dan Italia pada 8 September 2025 di Stadion Nagyerdei, Debrecen, Hungaria, seharusnya menjadi ajang olahraga murni. Namun, laga yang berakhir dengan kemenangan dramatis Italia 5-4 justru memuncak pada kekacauan di lapangan, melibatkan pemain kedua tim dan pelatih. Insiden ini bukan sekadar friksi biasa, melainkan gejolak emosi yang dipicu tuduhan hinaan verbal sepanjang pertandingan. Kekacauan ini semakin relevan hari ini, 7 Oktober 2025, ketika protes pro-Palestina menargetkan laga rematch Italia lawan Israel pada 14 Oktober di Udine, Italia. Demonstran mendesak pembatalan pertandingan, menyoroti ketegangan geopolitik yang merembet ke sepak bola. Apa yang seharusnya pesta gol berubah menjadi simbol konflik lebih luas, meninggalkan pertanyaan besar tentang batas antara olahraga dan politik. BERITA TERKINI
Latar Belakang Pertandingan dan Ketegangan Awal: Chaosnya Massa Usai Pertandingan Sepak Bola Israel vs Italia
Laga Israel vs Italia digelar di Hungaria karena alasan keamanan, mengingat situasi sensitif di Timur Tengah. Kedua tim berada di Grup E kualifikasi Piala Dunia, di mana poin krusial untuk lolos ke putaran final. Italia, di bawah pelatih Gennaro Gattuso, datang dengan tekanan setelah hasil buruk sebelumnya. Gattuso sendiri sempat komentar sinis soal undian grup yang menempatkan Italia berhadapan dengan Israel, menyebutnya “kurang beruntung”. Israel, yang tampil agresif, justru unggul lebih dulu lewat gol cepat di menit awal.
Ketegangan sudah tercium sejak kick-off. Pemain Israel mengeluh sepanjang babak pertama, merasa mendapat hinaan dari rekan Italia. Bek Israel bahkan menyebut ejekan itu seperti “sumpah serapah” yang memprovokasi. Di tribun, spanduk protes politik mulai muncul, meski keamanan ketat diterapkan. Ini bukan pertama kalinya sepak bola Israel-Israel terlibat kontroversi; pertemuan Nations League tahun lalu di Udine juga dijaga polisi berlapis karena demonstrasi serupa. Saat itu, laga berjalan tenang, tapi kali ini, dengan taruhan lebih tinggi, emosi meledak. Skor yang berubah-ubah—Israel unggul 2-0, lalu Italia balik 4-2—seperti metafor konflik yang tak kunjung reda.
Kronologi Kekacauan di Akhir Laga: Chaosnya Massa Usai Pertandingan Sepak Bola Israel vs Italia
Drama mencapai puncak di menit-menit akhir. Israel menyamakan skor 4-4 di injury time, memaksa pertandingan menuju perpanjangan. Tapi Sandro Tonali mencetak gol kemenangan Italia di menit 90+5, memicu euforia Azzurri. Begitu peluit akhir berbunyi, kekacauan meledak. Pemain Israel mendekati wasit, menuntut ulasan VAR atas gol Tonali yang mereka anggap offside. Gattuso, pelatih Italia, turun ke lapangan dan terlibat adu argumen sengit dengan pemain Israel, bahkan disebut “squaring up” atau saling tatap muka.
Tuduhan utama datang dari kubu Israel: pemain mereka merasa dihina sepanjang 90 menit, termasuk komentar rasis dan politik yang merujuk konflik Gaza. Satu pemain Israel bilang, “Mereka bermain tidak sportif, melontarkan kata-kata buruk sejak awal.” Di sisi lain, Gattuso membela timnya, menyebut insiden itu “seperti pembunuhan” karena intensitasnya, tapi menyangkal tuduhan hinaan. Rekaman video menunjukkan pemain kedua tim saling dorong di tengah lapangan, sementara wasit berusaha memisahkan. Dua gol bunuh diri—satu dari masing-masing tim—menambah kekacauan, dengan Israel menyalahkan kesalahan taktikal yang dipicu emosi.
Di luar lapangan, meski tidak ada kerusuhan massa besar, sekelompok suporter pro-Palestina di tribun meneriakkan slogan boikot. Keamanan Hungaria berhasil mengendalikan situasi, tapi insiden ini langsung viral di media sosial, dengan hashtag #IsraelItalyChaos trending semalaman.
Dampak dan Respons Pihak Terkait
Kekacauan ini berdampak luas. UEFA dan FIFA langsung memanggil kedua federasi untuk investigasi, fokus pada tuduhan hinaan dan perilaku tidak sportif. Italia naik ke peringkat kedua grup, melewati Israel, tapi kemenangan itu terasa pahit. Gattuso, dalam konferensi pers, bilang timnya “luar biasa” meski “seperti mimpi buruk”, dan meminta maaf atas friksi tapi tegas bela pemainnya. Presiden Federasi Sepak Bola Italia, Gabriele Gravina, menyebut panggilan darurat ke Gattuso sebagai “panik total” karena khawatir sanksi.
Di Israel, media lokal mengecam Italia atas “sikap arogan”, sementara di Italia, dukungan untuk timnas tetap kuat meski kritik soal etika muncul. Lebih luas, insiden ini memicu gelombang protes baru. Pada 3-5 Oktober, ratusan demonstran pro-Palestina mendekati pusat latihan Italia di Coverciano, menuntut pembatalan laga 14 Oktober. Mereka membawa spanduk “No Match with Genocide” dan mendesak pemerintah Italia campur tangan. Aktivis global ikut ramai, menyebut sepak bola sebagai alat propaganda. Federasi Italia menolak batal, tapi tingkatkan keamanan di Udine, dengan polisi siaga penuh.
Dampak ekonomi juga terasa: tiket laga mendatang terjual lambat karena boikot, dan sponsor mulai ragu. Bagi pemain, ini trauma; Tonali, pahlawan gol, bilang “senang menang, tapi tak suka akhirnya seperti itu.”
Kesimpulan
Kekacauan usai Israel vs Italia bukan sekadar insiden sepak bola, melainkan cerminan konflik global yang merasuk ke lapangan hijau. Dari tuduhan hinaan hingga protes jalanan, laga ini ingatkan bahwa olahraga tak kebal dari politik. Italia raih poin berharga, tapi harga emosionalnya mahal. Dengan rematch 14 Oktober di depan mata, harapan besar agar kedua tim—dan suporternya—pilih dialog daripada dorongan. Sepak bola seharusnya satukan, bukan pecah. Kini, bola ada di tangan federasi dan pemerintah: apakah mereka belajar dari chaos ini, atau biarkan berulang? Waktu akan jawab, tapi satu hal pasti: friksi ini takkan pudar begitu saja.